Kamis, 28 Maret 2013

“ANOA DATARAN RENDAH (Bubalus depressicornis) DAN BADAK SUMATERA (Dicerorhinus sumatrensis) ”

 




       Disusun Oleh:
Nama  : Darwati
Nim     :1001070069
Kelas    : Biologi V A

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN BIOLOGI
FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH PURWOKERTO
2012







¨                  ANOA DATARAN RENDAH (Bubalus depressicornis)
A.                Pendahuluan
Indonesia adalah negara yang memiliki keanekaragaman hayati tertinggi kedua di dunia setelah Brasil. Walaupun luas total daratan hanya 1,3 % dari seluruh permukaan bumi, Indonesia memiliki 10 % tumbuhan berbunga (27.000 jenis), 12 % mamalia (515 jenis), 16 % satwa amphibia (270 jenis), dan 17 % aves (1. 539 jenis). Indonesia tidak hanya kaya dengan jenis flora dan fauna, tetapi juga memiliki banyak jenis endemik. Misalnya endemisitas fauna di pulau Sulawesi yang disebabkan oleh posisi geografisnya yang terletak di kawasan Wallacea. Di pulau Sulawesi, dari 263 jenis burung yang ditemukan, 32 persen (86 jenis) adalah jenis endemik. Enam puluh persen (68 jenis) dari 114 jenis mammalia yang ditemukan di Sulawesi merupakan jenis-jenis endemik, serta sebanyak 26 persen (30 jenis) dari 117 jenis reptilia yang ditemukan di pulau Sulawesi adalah jenis-jenis endemik. Sementara itu tingkat endemisme flora di pulau Sulawesi dilaporkan tidak terlalu tinggi, hanya sekitar 7 persen. Tingkat endemisitas jenis yang tinggi juga ditemukan Irian dan di kepulauan Mentawai. Pelestarian keanekaragaman hayati menjadi sangat penting demi pemanfaatannya secara benar dan berkelanjutan.
Konservasi Sumber Daya Alam
Secara harafiah kata konservasi berarti menjaga bersama-sama (berasal dari dua kata dalam Bahasa Latin: con = bersama-sama, servar = menjaga), namun konservasi bukanlah berarti tidak boleh memanfaatkan (Soehartono dan Mardiastuti, 2003). Merujuk pada Ensiklopedia Indonesia (Redaksi Ensiklopedia Indonesia, 1983) konservasi masih diartikan sempit, yaitu perlindungan benda dan hasil produksi dari kerusakan. Akibatnya banyak kalangan yang memandang pembangunan dan konservasi sebagai dua kutub yang bertentangan. Pembangunan menghendaki adanya perubahan sedangkan konservasi tidak menghendaki adanya perubahan, karena perubahan dapat menimbulkan kerusakan. World Conservation Strategy mendefinisikan konservasi sebagai manajemen biosphere secara berkelanjutan untuk memperoleh manfaat bagi generasi sekarang dan generasi yang akan datang (Alikodra, 1996). Konsep konservasi moderen tidak mengartikan konservasi sebagai tidak boleh memanfaatkan, melainkan memanfaatkan secara berkelanjutan. Melalui pemanfaatan berkelanjutan diharapkan kelestarian akan tetap terjaga.
Pentingnya kegiatan konservasi
Konservasi keanekaragaman hayati meliputi konservasi jenis dan genetik, konservasi ekosistem esensial, pengembangan lembaga konservasi, penangkaran tumbuhan dan satwa liar, tertib peredaran tumbuhan dan satwa liar (Direktorat Jendral PHKA, 2002). Sampai sekarang pelestarian tersebut masih belum terlaksana dengan baik, mengingat ancaman yang dihadapi sangat rumit dan sangat sulit untuk diatasi. Beberapa di antaranya adalah pengaruh perubahan iklim, eksploitasi yang berlebihan berupa kegiatan yang mengakibatkan kerusakan fisik penopang kehidupan, pencemaran, kehadiran spesies asing yang invasif, dan kegiatan pembudidayaan yang tidak disertai upaya yang menjamin kelestarian berbagai varietas dari spesies yang dibudidayakan.
Secara umum, terdapat beberapa hal yang menyebabkan rawan punah atau punahnya jenis hayati yaitu: (1) Kurangnya eksplorasi jenis baru, sehingga kepunahan jenis tersebut tidak diketahui; (2) Penyediaaan habitat untuk jenis yang dilindungi masih sangat kurang (Alikodra, 1996; Direktorat Jendral PHKA, 2002; Malik et al., 2004); (3) Habitat yang disediakan tidak sesuai bagi suatu jenis yang dilindungi; (4) Pembangunan yang tidak memperhatikan kelestarian alam (Malik et al. 2004); (5) Pemanfaatan yang memutus daur reproduksi (Kasim, 2002); (6) Adanya pemindahan suatu jenis baru ke dalam suatu ekosistem; (7) Kurang sadarnya akan pentingnya konservasi hewan langka bagi anggota masyarakat sekitar, termasuk pengelola kawasan (Pujaningsih et al., 2007; Soehartono dan Mardiastuti, 2003); (8) Upaya perlindungan belum nyata di lapangan. Masih banyak dijumpai penjualan jenis hayati yang dilindungi di tempat umum; (9) Pengambilan dari alam secara besar-besaran dan terus-menerus (Kasim, 2002; Gunawan dan Mukhtar, 2005).
Terdapat dua jenis model konservasi (FAO, 2002), yaitu konservasi in situ dan konservasi ex situ. Diyakini bahwa ke dua model konservasi diperlukan untuk upaya perlindungan sumber daya alam hayati. Menurut Franco et al. (2004) mempelajari habitat asli akan mendukung upaya pengelolaan di area pemeliharaan yang berbeda. Salah satu contoh konservasi in situ adalah program perbaikan ekosistem suatu kawasan yang dilindungi. Program ini lebih berdaya guna diiringi dengan konservasi ex situ yang berupaya melakukan penyediaan bibit tanaman maupun mengembangbiakan satwa langka di tempat-tempat penangkaran.
Penampilan Umum Anoa
Salah satu binatang endemik yg memerlukan perhatian khusus pada upaya konservasi karena statusnya menurut CITES (Convention on International Trade in Endangered Species of Wild Fauna and Flora) sudah hampir punah adalah anoa (Bubalus sp.). Anoa termasuk satwa liar endemik dari pulau Sulawesi yang sudah dilindungi undang-undang perlindungan satwa liar sejak tahun 1931. Populasi dan habitat satwa ini semakin menurun baik kuantitas maupun kualitasnya disebabkan oleh kegiatan pembukaan hutan untuk pemukiman, perkebunan, pertambangan dan eksploitasi hutan. Akibatnya habitat anoa menjadi terkotak-kotak, populasi tersebar dalam jumlah kecil, yang pada akhirnya akan menyebabkan isolasi genetik dan terjadi degradasi mutu genetik satwa tersebut. Semakin sempitnya habitat anoa akibat kegiatan eksploitasi hutan, konversi hutan menjadi lahan pertanian, penempatan transmigrasi, perkebunan, industri turut mempercepat kepunahan satwa ini.
Menurut Groves (1969), di Sulawesi terdapat dua jenis anoa, yaitu anoa dataran rendah (Bubalus depressicornis) dan anoa gunung (Bubalus quarlesi). Anoa memiliki warna bulu coklat kemerahan hingga hitam. Menurut Grzimek (1975) panjang kepala dan badan anoa berkisar 1600-1720 mm, panjang ekor 180-310 mm, tinggi bahu 690-1060 mm, berat badan berkisar 150-300 kg. Berat badan anoa ini dianggap dan dibuktikan terlalu berlebihan oleh beberapa peneliti (Mustari, 1995; Mustari, 2002; Kasim, 2002) karena berdasarkan penimbangan 12 ekor anoa yang ditangkap oleh peneliti-peneliti tersebut tidak satu pun yang memiliki berat badan lebih dari 110 kg untuk anoa dataran rendah dan 100 kg untuk anoa dataran tinggi. Perbedaan ini dimungkinkan karena pada kurun waktu yang berbeda maka ketersediaan pakan anoa pun berbeda baik dalam kualitas maupun kuantitasnya.
B.              Identifikasi
Anoa merupakan hewan khas kota Sulawesi. Dimana anoa ini adalah satwa endemik di pulau Sulawesi. Anoa juga menjadi fauna identitas dari provinsi Sulawesi Tenggara, satwa ini langka dan dilindungi. Satwa ini tinggal di dalam hutan yang jarang dijamah oleh manusia. Satwa ini hanya dapat ditemukan di Sulawesi, Indonesia. Diperkirakan saat ini terdapat kurang dari 5000 ekor yang masih hidup. Anoa ini sangat sering diburu untuk diambil kulitnya, tanduknya dan juga dagingnya.
Anoa Dataran Rendah (Bubalus depressicornis) sejak tahun 1986 oleh IUCN Redlist dikategorikan ke dalam binatang dengan status konservasi “Terancam Punah” (Endangered; EN) atau tiga tingkat di bawah status “Punah”.
Anoa Dataran Rendah (Bubalus depressicornis) sering disebut sebagai Kerbau Kecil, karena Anoa memang mirip dengan kerbau, tetapi pendek serta lebih kecil ukurannya, kira- kira sebesar kambing. Memiliki tanduk yang lurus kebelakang serta meruncing dan agak memipih. Spesies dengan nama latin Bubalus depressicornis ini disebut sebagai Lowland Anoa, Anoa de Ilanura, atau Anoa des Plaines. Anoa yang menjadi fauna identitas provinsi Sulawesi Tenggara ini lebih sulit ditemukan dibandingkan anoa pegunungan.
Anoa Dataran Rendah (Bubalus depressicornis) mempunyai ukuran tubuh yang relatif lebih gemuk dibandingkan saudara dekatnya anoa pegunungan (Bubalus quarlesi). Panjang tubuhnya sekitar 150 cm dengan tinggi sekitar 85 cm. Tanduk anoa dataran rendah panjangnya 40 cm. Sedangkan anoa dataran rendah mencapai 300 kg.
Anoa dataran rendah dapat hidup hingga mencapai usia 30 tahun yang matang secara seksual pada umur 2- 3 tahun. Anoa batina melahirkan satu bayi dalam setiap masa kehamilan. Masa kahamilannya sendiri sekitar 9-10 bulan. Sehingga tidak jarang satu induk terlihat dengan 2 anak anoa yang berbeda usia.
o        Keunikan Anoa :
-                    Hidupnya berpindah- pindah dan apabila bertemu dengan musuhnya ia akan melindungi diri dengan cara menceburkan diri ke rawa- rawa, dan apabila tidak ada rawa- rawa maka dengan terpaksa ia akan melawan dengan tanduknya.
-                    Anoa dataran rendah dapat hidup hingga 30 tahun
-                    Anoa betina menghasilkan 1 bayi dalam setiap kehamilan sekitar 9- 10 bulan
-                    Tanduknyna digunakan untuk menyibak semak- semak atau menggali tanah
-                    Katika sedang bersemangat Anoa akan mengeluarkan suara “Moo”



C.                Determinasi
Anoa dataran rendah hidup dihabitat mulai dari hutan pantai sampai dengan hutan dataran tinggi dengan katinggian 1000 mdpl. Anoa menyukai daerah hutan ditepi sungai atau danau mengingat satwa langka yang dilindungi ini selain membutuhkan air untuk minum juga gemar berendam ketika sinar matahari menyengat.
Anoa sangat peka akan gangguan manusia. Gangguan yang sedikit saja terhadap habitatnya menyebabkan satwa ini menghindar mencari mencari tempat yang lebih aman. Karena itu anoa mendiami habitat yang jauh dari pemukiman dan aktivitas manusia, dan itu adalah hutan yang memiliki aksesibilitas rendah. Anoa cenderung menghindari kontak langsung dengan kerbau. Kecuali pada beberapa kawasan hutan dimana anoa tidak punya pilihan untuk menghindar karena habitatnya terisolir, anoa dapat saja ditemukan mendatangi areal perkebunan yang berbatasan dengan hutan atau kawasan konservasi.
Seiring pertambahan penduduk dan terbukanya akses oleh berbagai kegiatan seperti pemukiman, transmigrasi, perkebunan dan pertambangan, habitat anoa yangn dahulunya sulit terjangkau, aksesnya semakin terbuka, akibatnya habitat satwa ini semakin berkurang dan terkotak- kotak yang pada akhirnya menyebabkan populasinya menurun. Banyak kawasan hutan yang dahulunya dikenal sebagai habitat anoa tidak lagi dijumpai satwa tersebut seperti yang terjadi di CA Tangkoko Batuangus di Bitung Sulawesi Utara, anoa punah secra lokal. Habitat anoa terfragmentasi, populasi kecil terisolir sehingga diantara individu tidak terjadi perkawinan dan pertukaran genetik yang pada gilirannya akan membawa masalah serius inbreeding, perkawinan antar kerabat dekat yang mana  akan menyebabkan erosi genetik seperti yang terjadi pada kawasan hutan yang relatif sempit misalnya SM Tanjung Amolengo dan CA Lamedai di Sulawesi Tenggara dan banyak kawasan hutan lainnya yang dihuni anoa telah terfragmentasi seperti ini.
Sebagai ungulata penghuni hutan sejati, anoa membutuhkan tempat mencari makan, minum, berindung serta melakukan interaksi sosial berupa hutan primer yaitu hutan yang belum terjamaholeh manusia; mulai dari hutan pantai, hutan rawa, hutan dataran rendah, dan hutan pegunungan. Semakin jauh kawasan hutan dari lingkungan manusia semakin disukai anoa sebagai habitat. Hal ini terkait dengan naluri dasar anoa sebagai satwa yang sangat peka yang telah beradaptasi selama jutaan tahun di hutan alam Sulawesi, jauh sebelum manusia pertama menginjakkan kaki di pulau ini.
Secara umum anoa dataran rendah ditemukan mulai dari hutan pantai sampai hutan pada ketinggian sekitar 1000 m dpl, dengan kisaran suhu udara harian 22- 270C. anoa dataran rendah menyukai hutan di sepanjang aliran sungai yang disebut hutan riparian. Demikian pula hutan bamboo sangat disukai anoa. Sedangkan hutan dengan karakteristik berbatu dan bertebing curam dimana banyak terdapat formasi gua bebatuan limestone juga dapat dijadikan anoa sebagai habitat, namun dengan tingkat okupansi yang lebih rendah.
Anoa juga menyukai tegakan bamboo sebagai tempat berlindung dan mencari makan. Bambu menyediakan makanan berupa daun dan pucuk serta rebung bambu. Kotoran serta tempat istirahat anoa banyak dijmpai dibagian bawah tegakan bambu. Fisiognomi tegakan bambu memberikan perlindungan yang efektif bagi anoa dari terik matahari dan terpaan hujan dan angin yang terlalu deras. Tegakan bambu banyak terdapat dihutan – hutan Sulawesi mulai dari hutan pantai sampai hutan pegunungan, membentuk tegakan murni bercampur dengan jenis tumbuhan lainnya. Habita yang disuaki bambu adalah yang tanhanya relatif lembab baik pada tanah datar, tebing, bahkan pada tanah marjinal dapat dijumpai tegakan bambu. Hutann bakau pun, ketika air laut surut, menjadi habitat yang baik bagi anoa. Hutan yang dipengaruhi pasang air laut ini disukai anoa karena menyediakan tempat berlindung serta makanan berupa daun, pucuk dan buah tumbuhan bakau diantaranya yang paling disukai yaitu daun buah peropa Sonneratia alba serta buah api- api Avicennia sp. Hutan bakau menjadi habitat sekaligus koridor yang sangat penting bagi anoa.
Anoa menyukai hutan riparian, yaitu di sepanjang aliran suangai atau disekitar rawa dan danau. Hutan riparian menyediakan maknan berupa daun dan buah yang berlimpah bagi anoa serta menjadi tempat yang sempurna untuk berlindung dan istirahat pada tengah hari. Selain itu air menjadi alasan utama anoa menyukai tipe hutan semacam ini. Hutan yang berbatasan dengan kebun penduduk pun menjadi habitat yang sangat ideal bagi anoa. Di beberapa lokasi dimana banyak kawasan hutan yang dikonversi menjadi areal perkebunan, anoa sering masuk kebun terutama kebun- kebun yang baru dibuka atau dibersihkan dimana muncul tunas- tunas baru terubusan yang menjadi kesukaan anoa. Tunas- tunas baru disukai anoa karena memiliki kandungan nutrisi khususnya protein yang tinggi.
Padang rumput anoa yang dikelilingi pepohonan yang rapat jauh di tengah hutan, jarang dikunjungi manusia, tepi danau serta rawa merupakan habitat kesukaan anoa, makan berbagai jenis rumput air, minum dan berkubang. Kondisi habitat seperti ini dapat dijumpai di SM Tanjung Amolengo. Namun seiring dengan semakin banyaknya penduduk yang tinggal di desa Amolengo, perubahan lambat laun terjadi, manusia mengusik tempat yang tenang itu, akibatnya anoa makin sulit dijumpai.
Habitat anoa dataran rendah di sekitar danau- danau fosil Sulawesi yaitu Danau Matano, Towuti dan Mahalona di daerah Malili, Luwu Timur, terdiri dari hutan primer, hutan riparian dan hutan di sekitar danau dengan tumbuhan khas akar nafas adaptasi ekosistem tua, ciri khas ekosistem disekitar danau fosil itu. Hutan riparian sepanjang Sungai Petea yang menghubungkan Danau Matano dan Danau Mahalono merupakan habitat penting anoa. Jenis tumbuhan dominan diantaranya Kaleuju Carallia brachiata, nyamplung Calophyllum inophyllum, dan kenari Canarium commune.
D.             Klasifikasi
Kerajaan           : Animalia
Filum                : Chordata
Kelas                 : Mamalia
Ordo                 : Artiodactyla
Famili                : Bovidae
Genus               : Bubalus
Spesies              : Bubalus depressicornis
 




   Foto  

 


    DAFTAR PUSTAKA
-                 http://id.wikipedia.org/wiki/Anoa

 




 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar